Baru aja terima email dari seorang teman nun jauh di negeri sebrang, yang tengah merantau di negri orang demi menjemput rizki nan halal, untuk keluarga. Terasa berat katanya, berjuang demi sesuap nasi, dan terpaksa jauh dari keluarga. Begitu banyak pengorbanan yang harus dihadapinya, lagi2 demi sejumput materi demi menghidupi keluarga dengan layak.
Pfhhhh….. sungguh email tadi menyadarkan aku dengan keadaanku kini. Alhamdulillah… meski aku harus bekerja, namun aku masih bisa ketemu suami dan anak setiap hari, masih bisa tidur bareng dengan mereka setiap hari dan masih bercengkrama dengan mereka tiap hari tanpa menunggu jatah liburan atau cuti lebaran.
Flash back ke belakang, aku adalah putri sulung dari 3 bersaudara. Adikku aka Mama Kyo sudah menikah, tinggalah si bungsu, Apri, alhamdulillah sudah bekerja, n jomblo, hihihi.. maklum baru aja putus nih J.
Orang tuaku, ayah dan ibu, sama2 bekerja. Artinya aku tumbuh besar dengan pembantu sedari kecil. Ga terhitung udah berapa kali ibuku bolak balik ganti pembantu, demi mencari pembantu ‘ideal’ ukuran ibuku. Dan sedari kecil juga aku dan adik2ku terbiasa hidup dilayani dan diladeni, karena ayah dan ibu sehari2 bekerja berangkat pagi pulang malam. Hikkss… karena itulah aku bisa merasakan kangennya Jibran saat week end ketemu aku dan pastinya nempel terus kaya prangko.
Beranjak dewasa, aku tumbuh jadi wanita mandiri, meski dari kecil biasa diladeni pembantu, toh tugas pembantu hanya untuk menyiapkan kebutuhanku, selebihnya untuk mengambil suatu keputusan, ayah dan ibuku sudah sepenuhnya memberiku kebebasan. Justru hubunganku dengan adik2ku semakin erat, bagaimana tidak, sejak TK s/d SMP aku selalu disekolahkan di sekolah yang sama oleh ayahku.
Semua kulalui dengan lancar, begitu lepas SMA, aku langsung kuliah, ambil D3, selanjutnya meneruskan S1 sambil bekerja. Aku masih ingat saat pertama terima gaji pertama, maksud hati mau aku berikan ke ibu, namun ibu menolaknya, “ibu masih punya gaji, uang tsb buat kebutuhan mba Ina (panggilan kecilku) aja, kan mba Ina yang kerja.” Hmm…. Begitu seterusnya sampai beberapa kali aku pindah2 kantor, gaji yang kudapat benar2 utuh jadi milikku, palingan aku ngasih adikku, tapi itu juga ga sering, karena selebihnya semua kebutuhan sudah dipenuhi ayah dan ibu.
Namun semua kebiasaan itu berubah, bahkan 180derajat setelah aku menikah dengan Mas Rudy, ayahnya Jibran kini. Pernikahanku dilalui tanpa pacaran, padahal aku udah beberapa kali ganti pacar dan pacaran, namun begitu putus dan akhirnya kenal dengan ayahnya Jibran, baru kutau rupanya ayahnya Jibran tidak mengenal kata pacaran, (whatttt…??) kenal aja dulu, kalo emang cocok, langsung lamar dan menikah. Hmm… prinsip yang aneh menurutku, namun itulah jodoh, meski tanpa pacaran, alhamdulillah akhirnya aku jadi dan menikah dengan ayahnya Jibran. Keanehan berikutnya dan selanjutnya berubah jadi kekaguman adalah, biaya pernikahan yang ayahnya Jibran berikan ke ortuku, murni dari kantong nya, tanpa sepeserpun dibantu orangtuanya, (mertuaku).
Awal pertama pernikahan kami, terus terang banyak ‘keanehan2’ yang buatku protes dan ga terima. Kami tinggal dirumah pemberian ortuku, awalnya ayahnya Jibran menolak, dan minta aku ikut dia dan mengontrak, namun urung setelah ayahku angkat bicara. Perkara rumah selesai, selanjutnya tentang pembantu. Sudah kebiasaan bagiku, segalas esuatu dilayani dan diladeni pembantu, namun justru setelah menikah, ayahnya Jibran memutuskan tidak akan pakai pembantu. Semua harus dilakukan sendiri. Whattt?? Sungguh penyesuaian yang berat. Jadilah aku setiap Sabtu Minggu, mencuci pakaian dan menyetrikanya. Kebayang ga sih, semua pakaian kerja kami ditumpuk selama 1 minggu dan baru dicuci setiap weekend. Sempet protess, sempet nangis, marah dan ga trima, namun semua sia2, ayahnya Jibran benar2 pada keputusannya. Aku bener2 shock. Namun sekarang baru kusadari, inilah bagian cara dari ayahnya Jibran mendidikku.
Belum lagi soal makanan, ayahnya Jibran paling ga suka jajan di luar, si ayah paling suka masakan rumah, itu artinya, ayah secara ga langsung minta aku supaya bisa masak. Ayah rajin banget beliin aku buku masakan. Semua buku2 jenis masakan dari yang ringan sampai yang berat, komplet diborongnya. Tinggalah aku yang bingung, nyuci juga, nyetrika juga, sekarang harus masak juga??
Namun ada 1 hal yang bikin aku senang, jika aku bisa mempraktekan salah satu dari jenis masakan yang ada di buku, maka ayah ga segan beri aku reward, jangan harap reward tsb berupa emas atau parfum atau apalah selayaknya favorit wanita, reward tsb berupa perlengkapan rumah tangga, seperti mixer, oven atau perlengkapan masak. Hmmm…… aneh kah?
Menikah dengan ayahnya Jibran membawaku banyak perubahan, aku yang biasa menghabiskan seluruh gaji yang kumiliki utuh benar2 untuk diriku, begitu menikah dengan ayah baru kutau yang namanya berbagi. Ayahnya Jibran anak ke dua dari5 bersaudara, dan merupakan anak laki2 pertama dikelurganya. Memiliki adik 3 yang masih sekolah dan kuliah. Awalnya mertuaku adalah orang berada, profesi bapak mertuaku sebagai pemborong pembangunan rumah, namun saat th 98 terjadi krismon, proyek usaha bapak mertuaku terkena dampaknya dan mengalami krisi akhirnya collaps. Semenjak itulah segala kehidupan yang tadinya serba wah berganti menjadi sederhana. Di keluarga besarnya ayah dan ibumertuaku juga anak pertama dan sudah jadi tradisi jika anak tertua atau anak laki2 tertua akan menjadi tulang punggung atau tanggungan untuk adik2nya. Nah… disini puncaknya penyesuaian yang menurutku sulit banget.
(to be continued…)
iya ya yaa...commentnya jg to be continued yaa hehe...ditunggu seri ke 2 yaa hehe..*tp intinya aku tau, yg jelas seperti yg tertulis, ikhlas memang luar biasa susah untuk dijalani tp gampang diucapkan, smg kita mjd manusia2 yg selalu belajar ikhlas yaa..
ReplyDeletehmmmm ... gak sabar menanti kelanjutannya .... ^_^
ReplyDeletetfs
yah...indahnya berbagi *segini dulu komennya, tar sambung lg, hehehehe..*
ReplyDeleteiya nih.. cepetan ya mom sambungannya.. gak sabar pengen baca lanjutannya.. hehe
ReplyDeletenunggu lanjutannya..
ReplyDeletebunda Jibran.. bunda Jibran.. mana lanjutannya..
ReplyDelete*sambil tengok kiri kanan*
hmm....dari bagian pertama aja udah kerasa nih hawa2 perjuangan menuju ikhlasnya. Salut deh buat aybundnya Jibran, melewati berbagai perubahan dan penyesuaian untuk menuju keadaan yang lebih baik
ReplyDeleteWAH....STORY NYA BIKIN PENASAERAN
ReplyDeleteamien.. lanjutannya udah ada ya..
ReplyDeletethx ya.. udah mampir :)
ReplyDeletethx mom andal...
ReplyDeletealo..alo.. udah ada part 2 loh.. hehe.. lebay..lebay...
ReplyDeletesipp.... done
ReplyDeletehi..hi.. bunda azri, aku disini loh...
ReplyDeleteintinya satu pribadi ketemu pribadi yang beda = ga mudah...
ReplyDeletehi kaka lorna apa kabar??
ReplyDelete