Ini loh lanjutan nya...... as Part 2
Meski awalnya berat dan ga jarang aku adu argument dengan ayahnya Jibran mengenai prinsip hidupnya itu, kenyatannya aku harus terima segala konsekuensinya. Apapun keadaanya toh sekarang aku sudah menjadi istrinya. Mendapati aku yang sering complain dan ga terima, ayah justru mendiamkan aku meski dalam hati berharapnya ayah membujuk atau setidaknya merayu. Jika dirasa aku mulai tenang, barulah ayah akan ngajak aku bicara, "marah itu = gila, segeralah ambil wudhu, supaya marahmu itu tidak dikuasai setan" ucap ayah. Saat week end ayah rajin sekali ngajak aku ke pengajian, namun karena aku kadung kecapean, aku menolak, tinggalah ayah pergi sendiri.
Jujur, awalnya aku adalah orang yang temperamen, dan meledak-ledak, expressive dan driver, mungkin karena pengaruh aku anak pertama dan terbiasa pendapat atau keinginanku dituruti dan didengar selama ini, begitu ketemu ayah tanpa sadar behavior itu terbawa. 1 hal, ayah paling tidak suka dengan sifatku ini. Semakin aku meledak-ledak, semakin ayah akan mendiamkanku. Duhh gusti…..
Tahun pertama aku benar2 hidup hanya berdua dengan ayah, rumah yang kutempati ini memiliki 3 kamar, dan dirasa cukup besar untuk kami yang hanya tinggal berdua. Jatuh bangun aku membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangga. Bagaimana tidak, setiap hari aku berangkat ke kantor minimal pk. 06.30, sebelum menikah, cukuplah bagiku bangun tidur pk. 05.30 langsung mandi dan sarapan lalu berangkat, namun begitu menikah, pastinya ada konsekuensi yang harus aku tanggung. Bangun pagi minimal pk. 05.00, langsung masak air dan bikin kopi or sarapan, bersih2 rumah (kalo sempat), mandi, baru berangkat. Pulang sampe rumah sudah malam, yang tersisa hanya cape di badan. Begitu setiap hari. Dulu yang terpikir olehku, kok menikah ga ada indah2nya ya…
Alhamdulillah dengan berjalannya waktu, semua yang awalnya aku anggap sebagai “penderitaan” mulai bisa aku nikmati. Masuk tahun kedua, adik iparku (laki-laki) Nur mulai ikut dengan kami. Nur masih kuliah, makanya daripada ngekost makan biaya, diputuskan untuk tinggal bersama kami. Jujur, awalnya aku keberatan. Ayah nanya ke aku, apa yang jadi alasan keberatanku, namun aku ga bisa menjawabnya, yang pasti susah diungkapkan melalui kata2, intinya aku keberatan. Namun karena aku tidak bisa memberikan alasan yang jelas, ayah tetap pada keputusannya, dia ikut kami. Kenyamananku yang mulai terbentuk setahun ini, berubah. Dia benar2 memakai rumah hanya untuk singgah, kuliah, mengerjakan tugas masuk kamar dan tidur. Padahal adik iparku tau kami tidak ada pembantu. Namun dia tetap pada caranya, akhirnya aku complain ke ayah.
Hal yang paling sensitive yang selama kami hindari selama ini lambat laun mulai terusik. Ada perasaan ga trima jika ayah membantu biaya adik2nya, atau mengirim untuk orangtuanya. Saat itu aku merasanya ayah tidak adil. Sungguh, keikhlasan dan berbagi tidak ada dalam benakku. Aku hanya melihat semuanya dari kacamataku tanpa menyelami keadaan dan kondisi yang ada. Bisa diduga akhirnya aku sering marah2. Ayah tetap pada keputusannya, ayah hanya mengingatkan bahwa manusia itu hidup tidak sendiri, dan ga selamanya ada diatas. Saat dirasa aku tenang ayah akan mengajakku bicara dan mengingatkanku tentang hakikat berbagi. “Suatu saat kamu pasti akan menyesal, jika sifatmu yang seperti ini tidak diubah.” Duaarrrrr.. aku yang merasa benar, langsung merasa kesinggung mendengar ucapan ayah.
Lambat laun perdebatan yang selama ini hanya kami simpan berdua, diketahui juga oleh orangtuaku dan mertuaku.
Suatu hari Ibuku mengirim seorang pembantu ke rumahku, aku senang, artinya pekerjaan rumah akan diassist oleh pembantu, namun ternyata ayah menolaknya, ayah bilang nanti aja kalo udah punya anak baru pakai jasa pembantu. Duhhhh... mau marah rasanya. Kenapa sih ayah masih idealis aja??
Namun belakangan baru kutau alasan ayah sesungguhnya kenapa tidak mau pakai pembantu, ayah tidak akan pernah pakai pembantu jika aku belum menguasai pekerjaan rumah sesunggunhya, bagaimana mau menilai pekerjaan pembantu, jika aku sendiri belum menguasai pekerjaan rumah tangga, yang bisanya hanya nyuruh atau minta ini itu aja. Dan hebatnya, alasan ayah ini masuk akal dan bisa diterima oelh kedua orangtuaku, akhirnya pembantu yang sudah dikirim ke rumah kami, dipulangkan lagi.
Aku benar2 ga bisa apa2, aku merasa ayah adalah suami yang egois. Lagi2 aku hanya menilai semua dari kacamataku saja. Ironis...
Suatu hari Ibu mertuaku telpon ke aku, dan menyampaikan jika memang aku keberatan dengan pekekerjaan rumah tangga, untuk sementara biar aja Cicich (adik nya ayah yang perempuan) ikut dengan kami dan membantu kami. Dia baru aja lulus SMA, ingin ke Jakarta. Sudah pasti ayah setuju, terus terang aku ga enak menolak keinginan ibu mertuaku. Akhirnya Cicih datang ke Jakarta. Lagi2 aku kembali keberatan. Duhh.. Tuhan... kenapa ya aku sulit sekali berbagi meski itu dengan adik iparku sendiri. Pun dengan suamiku benar2 diuji mengahadi sikapmu ini.
Kehadiran Cicih ternyata tidak seburuk yang kukira, dia adik yang manis dan penurut, adanya dia di rumah kami benar2 membantu kami, aku khususnya. Lambat laun, aku mulai bisa menerima kehadirannya. Karena dia penurut, aku ga sayangan ke dia, kubelikan dia pulsa, baju atau uang untuk jajan. 1 hal yang aku salut, cicih mengerti kondisi dan keadaan orangtuanya, dia menolak untuk kuliah, dan malah milih kursus saja. Hikkssss.. terenyuh dan terharu aku mendengarnya. Kemana aku selama ini, jika posisi dibalik apa aku siap menjadi seperti nya?? Selama ini aku (alhamdullillah) tidak pernah kekurangan, semua kebutuhanku sebelum menikah sudah dicukupi orangtuaku, dan setelah menikah akupun mempunyai gaji yang cukup, demikian juga ayahnya Jibran pun senantiasa mencukupiku, berbagi terhadap keluarga apa itu salah? entah kenapa aku begitu arogannya masih aja tidak mau tenggang rasa. Egois sekali...
Pelan2, kurasakan sifat keras ayahnya Jibran mulai melunak. Rupanya perubahan sifat ayah ini karena ayah melihat sikap aku yang mulai tenang dan tidak meledak-ledak. Mulai bisa menerima kehadiran adik2nya di rumah kami. Mulai bisa meredam temperamenku slama ini, mulai jago masok, ok mencuci, ok menyetrika dan pekerjaan rumah lainnya. Oh indahnya...
Di saat kami mulai bisa menyesuaikan satu sama lain, tantangan berikutnya datang. Orangtua dan mertua serta saudara2 mulai bertanya, kapan aku punya anak? Udah 2tahun menikah kenapa tenang2 aja? Aku bisa maklum, karena aku adalah putri sulung dan dari pihak mertua baru ada 1 cucu itupun sudah SD, ga heran jika semua keluarga besar menantikan kehadiran si kecil. Mertuaku mulai ribut dan memberikan saran supaya aku berobat ke alternatif, orangtuaku juga menyarankan yang sama periksa ke dokter. Hgggkkkk... biasanya aku diam atau menghindar. Belum lagi teman2 dan tetangga juga bertanya, kapan donk punya momongan??
Dalam hati hanya bisa berucap dan seandainya bisa teriak, "aku juga pingin punya anak..."
Berikutnya bulan demi bulan, kehadiran tamu bulanan membuatku senantiasa H2C alias harap-harap cemas.
Sampai akhirnya, kami berdua memutuskan, sebelum berobat ke alternatif, kami berdua ingin tau secara medis, apakah kondisi kami berdua sehat?? Setelah tanya sana sini dan cari2 informasi tentang kesuburan sampailah aku pada suatua dokter, dan selanjutnya..
(to be continued...)
yah masih bersambung.. :D
ReplyDeletekomennt nya juga bersambung dong ah ... ^_~
ReplyDeleteiya nih, soalnya masih panjang kisahnya.. thx ya mom riffat..
ReplyDeletehihihi.... jadi ga enak... fans kecewa ya, walaahhh.. GR.com..
ReplyDeletehahaha...dah serius, msh ada sambungannya toh!
ReplyDeleteYwdh ditunggu deh lanjutannya...
Kira2 ampe brp episode ya diz??? hehehe..
pundung ahhhh... hehehe....
ReplyDeletemom Jibran, dibikin novel lagu nih.. best seller.. :D
bakat jadi penulis novel or sript sinetron niih...hebaat :)
ReplyDeleteterus lanjutkan mba, sapa tau nanti ada yg baca , trus tertarik bikinin sinetron beneran..hehhe
wah.. maaf mba vie, abis kalo dibikin sekaligus pastinya panjang banget...
ReplyDeletemaunya berapa episode mba? hehehe
maunya sih bund, btw masih kejauhan tuh, mimpi kali yeee...
ReplyDeletehehehe.. manohara nanti kalah saing donk :p
ReplyDeletethx ya jeng..
wuiiih jago euy Ayahnya Jibran jadi Imam keluarga, mampu 'menundukan' si Bunda yg biasanya meledak2 itu. Salut euy...eh salut sama Bunda juga deh *takut diprotes ;p* mau berubah
ReplyDeleteyahhhhh pembaca kecewa,hehehehe
ReplyDelete*nunggu sambungannya :D*
hehehe.. mom si neng bisa aja nih, beneran diprotes gimana??
ReplyDeletesi ayah banyak tantangannya nih ngadepin aku.. :(
bentar ya mom.. part 3 coming soon.. hehehe.. lagi2 lebay...
ReplyDeleteBagian jungkir balik masa awal pernikahan itu agak mirip, Mbak... cuma ya di sini memang rada susah juga cari pembantu, hehehe...
ReplyDeletethx ya jeng udah mampir....
ReplyDeletedi jakarta aja sulit cari prt yang ok, apalagi disana ya mba...
berarti kehadiran jibran bener2 penyemarak keluarga besar yaa..
ReplyDeleteDi banyak sisi, sifat dan sikap si ayah sama persis dengan suamiku dalam mendidikku sebagai seorang istri, ibu, dan ibu rumah tangga. Bedanya, aku bukan tipikal org yg meledak2 dan temperamen hahaha *kabuuuuuurrr takut ditimpuk dizna*
ReplyDeletealhamdulillah demikian adanya... jadi magnet dan rem untuk kami berdua...
ReplyDeletetenang mba nana, dizna yang sekarang jauh lebih kalem kok, haha...
ReplyDeletega bakalan nimpuk2 deh....